Key points:
|
Apakah Faxtorian pernah seringkali memakan junk food walaupun tahu bahwa junk food tidak baik untuk kesehatan? Seringkali kita bertindak tidak sesuai dengan pikiran kita. Hal yang serupa seperti ini bisa membawa kita ke ketidaknyamanan seperti perasaan bersalah, tapi perilaku tersebut tidak berhenti dilakukan. Atau, contoh lain dalam pemakaian sunscreen (tabir surya) sebelum memulai kegiatan sehari-hari, banyak orang yang sudah paham manfaatnya tetapi tidak menggunakannya dengan berbagai alasan. Banyak kegiatan yang dilakukan dengan duduk, seperti bekerja, makan dan scrolling internet, hanya dengan duduk kita bisa melakukan dan mendapatkan banyak hal. Perlu dicatat, kenyamanan dan kemudahan ini yang membuat kita terus melakukannya. Manusia hidupnya sebagian besar membentuk habit dimulai dari bangun tidur, sarapan, kerja, pulang lalu tertidur lagi. Ada 55% dari kegiatan sehari-hari yang tidak diulang secara konsisten, mungkin karena dianggap tidak wajib (Iso-Ahola, 2013). Seperti itu, tidak memakan junk food, memakai sunscreen, melakukan olahraga atau lainnya mungkin bukan bagian dari perilaku yang biasa kita lakukan. Perilaku yang inkonsisten ini sering membuat kita merasa tidak nyaman. Lantas, apakah fenomena ini? Apa Itu Disonansi Kognitif? Ketidaknyaman yang dialami seseorang setelah adanya inkonsistensi antara perilaku dan belief mengarah pada perubahan belief, action dan action perception. Perubahan ini bisa semakin menambah atau mengurangi gap antara perilaku dan belief. Maka, sesuatu harus berubah supaya individu kembali konsisten. Biasanya, kita mencari pembenaran dari perilaku kita. Sebagai contoh, perilaku yang dialami adalah jarangnya berolahraga, kita tahu pasti banyak manfaat dari melakukan olahraga. Walaupun pengetahuan dan keyakinan bahwa olahraga menyehatkan, kita jarang melakukannya. “Tidak ada waktu.” sering menjadi alasan yang klise, tapi jika ada waktu luang belum tentu diisi dengan berolahraga– kasarnya kita tentu memilih untuk beristirahat setelah berkegiatan penuh. Fenomena ini dapat disebut dengan disonansi kognitif, menurut Festinger (1957) hal ini adalah sebuah keadaan adanya inkonsistensi antara kognisi (kepercayaan, nilai, sikap, dan persepsi) atau perilaku terhadap satu sama lain, individu mengalami konflik kognitif negatif (disonansi) Mengapa Terjadi Disonansi Kognitif? Lalu, mengapa inkonsistensi dapat memunculkan emosi negatif? Action-based model of dissonance dimulai dari asumsi bahwa banyaknya persepsi dan kognisi secara otomatis mendorong kita untuk berperilaku demikian. Model ini menjelaskan efek negatif secara spesifik disebabkan ketika kognisi dan akibat dari aksi bertentangan sehingga membuat kita sulit untuk bertindak. Kognisi untuk perilaku– kognisi memengaruhi perilaku sampai tingkat tertentu. Kognisi yang memiliki pengaruh besar daripada kognisi lainnya, bisa semakin besar juga disonansinya. Disonansi ini memberi ‘sinyal’ penyelesaian masalah inkonsistensi sehingga perilaku bisa muncul. (Harmon-Jones, 2015) Bagaimana mengubah disonansi kognitif? Menurut Kaaronen (2018) untuk mengurangi disonansi bisa dilakukan dengan empat strategi berikut (Dhanda, 2020):
Melakukan alternatif dari perilaku, ini merupakan strategi termudah untuk mengurangi disonansi. Misal, seseorang yang mempunyai masalah lambung berada di toko kopi, maka disonansi untuk minum kopi bisa dikurangi dengan tidak membeli kopi. Jadi, kita dapat langsung mencari alternatif lain dari perilaku. Alternatif ke lingkungan lain, salah satu strategi untuk mengurangi disonansi dengan memodulasi/mengubah lingkungan atau dunia sosial. Hal ini bukan berarti Faxtorian merubah lingkungan dengan kedua tangan, melainkan kita yang berpindah ke keadaan yang berbeda. Jika dibayangkan misalkan seperti, seorang individu di sebuah lingkungan dengan konflik, untuk mengurangi disonansi kognitif dia secara aktif berpindah ke lingkungan sosial yang lain. Menambah elemen kognitif baru, hal ini dapat dijelaskan lagi secara spesifik melalui tiga cara yaitu, fokus dengan belief yang suportif, menambah kognisi penengah, dan mengubah elemen kognitif yang berkonflik.
Menghindari disonansi, strategi yang menekankan bahwa orang lebih cenderung untuk menghindari eksistensi dari disonansi itu sendiri. Dalam keadaan yang berpotensi menimbulkan disonansi, kita secara aktif dengan kuat menghindari lingkungan yang mungkin pernah menyebabkan disonansi sebelumnya.
Empat strategi di atas adalah salah satu dari beberapa strategi yang dapat mengurangi disonansi kognitif. Tentunya, dalam praktik mengurangi disonansi sangat dipengaruhi banyak faktor seperti tipe konflik kognitif, keadaan, pengaruh sosial, perbedaan individu dan lainnya (Cancino-Montecinos, 2020). Perilaku yang kita lakukan mungkin bertentangan dengan belief yang dimiliki. Namun, ini bukan sebuah masalah besar jika kita tidak menyadari sinyal/gap inkonsistensi yang ada. Dengan adanya gap, Faxtorians dapat melakukan beberapa hal untuk mengurangi hal tersebut, yang tentunya dipengaruhi juga oleh banyak faktor. Jika sewaktu-waktu Faxtorians merasa tidak nyaman saat melakukan sesuatu mungkin kalian sedang mengalami disonansi kognitif! Ternyata perilaku kita dapat dipengaruhi dengan informasi dan belief yang kita anut. Jadi, penting untuk selalu menyadari hal yang Faxtorians terima saat ini yang nantinya mungkin bisa menjadi dasar motivasi perilaku lainnya.
|